TULANG BAWANG – Lembaga Konservasi (LK 21) menyebut bahwa pihak perusahaan PT SGC merasa tidak takut dengan pemerintah ataupun dengan Pemprov Lampung dan Pemkab Tulangbawang, yang diduga telah melakukan pembakaran tebu atau perkebunan tebu atau hutan tebu pada musim panen.
Direktur LK 21 Ir Edy Karizal, mencontohkan sikap tidak takutnya pihak perusahaan itu dibuktikan dengan adanya pembakaran perkebunan tebu atau hutan tebu yang dilakukan secara berulang – ulang, secara masif dan rutin setiap musim panen.
“Kita ketahui bersama bahwa sejak kemarin, masyarakat menyorot miring tentang terjadinya pembakaran lahan tebu yang diduga milik PT SGC yang dilakukan ketika proses panen tebu. Dan ternyata beberapa hari kemudian, kembali membakar lahannya seolah-olah tidak merasa takut dengan pemerintah khususnya pemerintah daerah provinsi Lampung dan Pemkab Tulangbawang,”ujar Edy Karizal, Senin (16/11/2020) malam.
Edy menegaskan, pembakaran lahan tebu ini sudah berlangsung sangat lama dan tidak pernah satupun pemimpin daerah, baik pemerintah kabupaten Tulangbawang maupun provinsi Lampung (Gubernur dan DPRD) yang “berani” mengusiknya.
Padahal, kata dia, proses pembakaran lahan itu sudah jelas-jelas melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang tentang Perkebunan No 39 Tahun 2014.
“Khusus UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 perusahaan ini telah melanggar Pasal 69 disebutkan bahwa Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar dan juga melanggar pada pasal 108 disebutkan bahwa pembakaran lahan dengan sengaja atau tidak sengaja dapat dipidana,”tegasnya.
Perusahaan SGC, sambungnya, diindikasikan telah melanggar Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 bahwa proses pembakaran lahan saat panen tebu bertentangan dengan asas penyelenggaraan perkebunan (pasal 2) yaitu tentang kelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan. Juga beberapa pasal seperti pasal 32 Pasal 67.
“Ketika terjadinya pembakaran yang diketahui publik (terpublikasi) sudah yang ke dua kali ini dalam rentang hari yang pendek ini maka publik menilai bahwa perusahaan ini lebih berkuasa dari pemerintah provinsi Lampung dan wibawa pemerintah sudah sangat direndahkan perusahaan ini, yang sudah jelas-jelas “melecehkan” wibawa kabupaten Tulang Bawang dan pemerintah provinsi Lampung,”paparnya.
Seharusnya, lanjut Edy, Gubernur dan DPRD provinsi Lampung “berani” untuk menyetop aktifitas pembakaran ini karena sudah merugikan “kesehatan” masyarakat dan nasional bahkan merugikan iklim secara global (dunia) dengan memicu pemanasan global.
“Pemerintah seharusnya memahami bahwa dampak lingkungan akibat “pembakaran” lahan dengan sengaja jelas-jelas adalah upaya dengan sengaja merusak lingkungan yang notabene aktifitas pembakaran ini bisa dicegah melalui proses prasyarat berdirinya perkebunan ini,”urainya.
Edy juga menuturkan, beda halnya dengan sebuah pabrik yang menghasilkan limbah, maka perusahaan tersebut wajib membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dalam prasyaratnya karena tidak ada alternatif lain dalam produksinya untuk meminimalkan dampak lingkungan dalam proses produksinya makanya dalam proses residu atau limbah ikutannya diharuskan ada IPALnya.
“Kalau pembakaran lahan, dalam perkebunan dapat dilarang karena jelas-jelas proses ini hanya untuk meminimalkan biaya produksi padahal proses panen tebu dapat dilakukan menggunakan alat dan teknologi lain yang ramah lingkungan,”tuturnya.
Kalimat terakhirnya, Edy mengulas bahwa aktifitas pembakaran lahan oleh SGC ini telah mengorbankan lingkungan dengan menghancurkan ekosistem yang ada bahkan telah memberikan dampak terhadap perubahan iklim secara global karena dilakukan secara terus-menerus dan juga meningkatkan jumlah CO2 dalam udara serta zal-zat lain yang berbahaya bagi mahluk hidup. Pembakaran ini harus distop
“Pemerintah provinsi (gubernur dan DPRD) harus mencabut ijin PT SGC ini kalau tidak maka masyarakat melihat bahwa Pemerintah yaitu Gubernur dan DPRD provinsi dianggap oleh masyarakat tidak memiliki wibawa dan sama sekali tidak memikirkan masyarakatnya apalagi untuk melindunginya,”tutupnya. (*)