Soal Pembakaran Tebu, Lembaga Konservasi 21 Kirim Surat Terbuka untuk Jokowi

Screenshot_2020-11-16-19-15-54-211_com.whatsapp.jpg

TULANG BAWANG – Direktur Lembaga Konservasi 21, diketahui mengirimkan surat terbuka yang ditujukan untuk Presiden RI Joko Widodo terkait dengan persoalan pembakaran tebu saat musim panen.

Direktur Lembaga Konservasi 21, Ir. Edy Karizal, dalam tulisan terbukanya itu meminta kepada Presiden Jokowi untuk merespon dan menanggapi atas adanya dugaan pencemaran lingkungan, dampak dari pembakaran tebu yang diduga dilakukan oleh PT. SGC.

Berikut ini adalah isi petikan surat terbuka Lembaga Konservasi 21 untuk Presiden RI :

SURAT TERBUKA BUAT PRESIDEN RI

Yang terhormat,

Bapak Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bersama surat ini kami mendoakan semoga Bapak Presiden dalam keadaan sehat walafiat dan diberkahi kekuatan lahir dan bathin dari Allah SWT. Aamiin.

Ijinkan kami melalui surat ini kami mohon bantuan dan perhatian Bapak presiden dalam hal yang menyangkut permasalahan lingkungan hidup di daerah kami yaitu provinsi Lampung.

Sejak lama perusahaan perkebunan tebu PT. Sugar Group Company (PT. SGC) yang berdiri di tanah HGU Pemerintah yang merupakan perusahaan yang terletak di kabupaten Tulang Bawang provinsi Lampung dan merupakan perkebunan tebu terbesar dan penghasil gula yang merupakan aset investasi penting di Indonesia.

Akan tetapi sampai saat ini perusahaan yang memiliki lahan di sekitar masyarakat kabupaten Tulang Bawang ini dalam melaksanakan pemanenan tebunya melalui pembakaran lahan.

PT. SGC selalu dengan sengaja membakar lahannya untuk mempermudah dan biaya murah dalam proses panen serta juga mempermudah ketika melakukan penanaman tanaman tebu baru.

Dampak-dampak terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sepertinya diabaikan dan sampai saat ini belum ada upaya yang konkrit dilakukan oleh pemerintah provinsi Lampung.

Sedangkan menurut Undang-Undang, pembakaran lahan ini dapat dipidana karena sudah melanggar UU LH No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang tentang Perkebunan No 39 Tahun 2014.

Dalam UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 Pasal 69 disebutkan bahwa Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar dan pada pasal 108 disebutkan bahwa pembakaran lahan dengan sengaja atau tidak sengaja dapat dipidana.

Dari sisi undang-undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 bahwa proses pembakaran lahan saat panen tebu bertentangan dengan azas penyelenggaraan perkebunan (pasal 2) yaitu tentang kelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan.

Dalam proses pengelolaan perkebunan tebu PT. SGC seharusnya juga mengindahlkan tentang UU Perkebunan pasal 32 yang menyebutkan bahwa; (1) Setiap Orang yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk keperluan budi daya Tanaman Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup, (2) Setiap Orang yang menggunakan media tumbuh Tanaman Perkebunan untuk keperluan budidaya tanaman perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya pencemaran lingkungan hidup. Dalam Pasal 67 juga disebutkan bahwa (1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.

PT. SGC telah benar-benar telah “mengangkangi” Undang-undang tanpa sedikitpun ada penegakan hukum oleh pemerintah provinsi Lampung (Gubernur dan DPRD) yang seharusnya benar-benar menjaga komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup di provinsi Lampung. Serta tanpa perhatian Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian Pertanian dan Perkebunan Republik Indonesia.

Dampak yang timbul akibat pembakaran lahan ini bukan sekedar adanya debu dan kotoran hasil pembakaran yang sampai ke rumah-rumah penduduk akan tetapi lebih jauh adalah kerusakan lingkungan hidup yang lebih besar. Akibat pembakaran lahan ini setiap panen di PT. SGC menyebabkan pemanasan global dan mendorong perubahan iklim yang lebih besar serta meningkatkan efek Gas Rumah Kaca (GRK) bukan hanya di provinsi Lampung akan tetapi telah mempengaruhi bumi yang menyebabkan suhu bumi semakin panas (global warming) dan menyebabkan dampak lingkungan lainnya.

Artinya PT. SGC telah menyumbang terhadap peningkatan pemanasan global dan efek Gas Rumah Kaca (GRK) setiap tahunnya yang mempengaruhi perubahan iklim dunia saat ini tanpa sedikitpun tindakan dari pemerintah provinsi Lampung.

Di tengah Indonesia sedang membangun komitmen target penurunan GRK tahun 2030 sebesar 29 persen serta Kelanjutan kerjasama penurunan GRK Indonesia dan Norwegia dan kebijakan instrumen nilai ekonomi karbon (carbon pricing).

Dimana berdasarkan konferensi perubahan iklim kita memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi karbon di sektor Pertanian sebesar 0,13 persen yang Bapak canangkan beberapa waktu lalu seolah-olah hanya sebuah retorika saja apabila masalah pembakaran lahan perkebunan PT. SGC ini tidak ditindaklanjuti sehingga proses pembangunan yang berkelanjutan akan menjadi suatu angan-angan dan mimpi belaka.

Kami akan sangat bersenang hati dan mengucapkan banyak terima kasih apabila Bapak presiden menindaklanjuti masalah ini, karena penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) tahun 2030 sebesar 29 persen akan Indonesia capai secara optimis apabila pola pembangunan pertanian dan perkebunan sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

Demikian surat kami ini, semoga saja Bapak Presiden Joko Widodo memiliki waktu yang luang untuk dapat “menghadirkan” negara dalam permasalahan PT. SGC ini agar dapat menjadi contoh daerah dalam menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan dengan memberikan jaminan kepada rakyat dalam melangsungkan kehidupannya sehingga Indonesia menjadi negara yang dalam pembangunannya ke depan dengan tidak “mengabaikan” masalah-masalah lingkungan hidup.

Bandarlampung, Februari 2021

Salam hormat,

Ir. Edy Karizal
Direktur Lembaga Konservasi 21

Surat terbuka yang ditulis oleh LK21 itu mendapat respon positif dan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah organisasi Gerakan Rakyat Cinta Indonesia (Gercin) Provinsi Lampung dan Tulangbawang.

Ketua DPD Gercin Lampung, Hertop Holil, menegaskan bahwa masyarakat belum mendapatkan keadilan dan belum merasa kemerdekaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Masyarakat belum merdeka bebas dari limbah bakaran tebu. Akses jalan milik perusahaan yang sulit lalui. Tidak ada jalan alternatif lain. Masyarakat terisolir dan terisolasi hanya ada satu jalan. Akses keluar masuk hanya bisa lewat satu jalan,”kata Hertop. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top