TULANG BAWANG – Lembaga Konservasi (LK21) menilai bahwa perusahaan PT SGC yang beroperasi di Kabupaten Tulangbawang dan sekitarnya, diduga telah mengabaikan CSR bagi masyarakat disekitar perusahaan. Selain itu, perusahaan raksasa diduga telah melakukan perusakan lingkungan pada saat musim panen tebu, dengan cara membakar tebu.
“Akhir-akhir ini, maraknya pemberitaan pembakaran lahan tebu yang dilakukan PT. SIL yang merupakan bagian Sugar Group Company (SGC) telah menjadi perhatian publik, dimana sebenarnya perusahaan tebu ini setiap masa panennya melakukan pembakaran lahan agar dengan mudah dan sangat murah dalam pelaksanaan panennya dan juga merupakan proses persiapan lahan tanam pada musim berikutnya,”terang Direktur LK 21, Edy Karizal.
Edy menegaskan bahwa proses panen dengan bakar lahan ini telah memberikan dampak lingkungan yang hebat sehingga seharusnya tidak terjadi lagi. PT SGC mustinya menghentikan kebiasaan membakar kebun tebu saat musim panen.
Kegiatan pembakaran lahan ini, kata Edy Karizal, sudah berlangsung bertahun-tahun dan menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat sekitar dan masyarakat Kabupaten Tulangbawang serta Provinsi Lampung, apabila ketika musim bakar lahan maka rumah-rumah mereka selalu kotor oleh abu dan kotoran daun yang telah menjadi arang halus yang berterbangan terbawa angin.
“Kondisi ini lebih parah lagi di dua kecamatan terdekat yaitu Dente Teladas dan yang paling dekat dengan kebun tebu ini yaitu kecamatan Gedung Meneng, bahkan kecamatan Gedung Meneng ini sering disebut sebagai “kecamatan dalam kebun” karena akses untuk menuju ke kecamatan ini melalui darat maka harus masuk dulu ke tengah wilayah perkebunan tebu milik PT. SIL yang merupakan perusahaan SGC tersebut. Apabila seseorang belum pernah ke wilayah kecamatan Gedung Meneng ini maka sudah dapat dipastikan dia sangat sulit menemukan jalan menuju kecamatan ini,”paparnya.
Perusahaan PT.SIL/SGC ini, sambungnya, seharusnya benar-benar memperhatikan keadaan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat sekitarnya dimana seharusnya memberikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) nya dalam upaya perbaikan ekonomi, atau sosial, dan lingkungan hidup kepada masyarakat di dua kecamatan yang terdekat ini.
“Boro-boro upaya fasilitasi perbaikan lingkungan hidup kepada masyarakat sekitarnya, sepertinya perusahaan ini tidak memiliki perhatian lebih terhadap isu lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pembakaran lahan ketika proses panennya,”tandasnya.
Masih kata Edy Karizal, masyarakat sekitar secara sosial seolah-olah hanya sebagai masyarakat yang justru dianggap “menumpang” khususnya akses jalan milik perusahaan sehingga terkesan siapapun yang menuju dua kecamatan tersebut harus hati-hati dan minta ijin kepada penjaga ketika melewati “jalan” perusahaan yang merupakan satu-satunya akses jalan menuju ke rumah atau tempat tinggal mereka di kecamatan tersebut.
Sehingga beberapa proyek pembangunan desa yang membutuhkan jalur transportasi untuk pengangkutan material berat seperti batu, split dan lainnya harus “meminta ijin” kepada perusahaan dan lebih sering masyarakat dilarang untuk mengangkut barang-barang material berat khususnya ketika musim panen tiba.
Apakah ijin Hak Guna Usaha perusahaan ini menjadikan hak aksesibilitas masyarakat di dua kecamatan ini terabaikan. Jadi kalau ada CSR yng dibagikan ke masyarakat pasti bentuknya tidak lebih kepada tujuan tali asih semata.
Kalau merujuk kepada UU No 39 tahun 2014 tentang perkebunan seharusnya pemerintah daerah dan pusat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perkebunan ini, akan tetapi sepertinya ini sama sekali tidak dilakukan pemerintah yang terjadi justru sebaliknya, sepertinya “penguasa” perkebunan ini yang mengontrol jalannya pemerintahan di provinsi Lampung karena sampai saat ini perusakan lingkungan ini melalui pembakaran lahan ketika proses panen yang telah memicu pemanasan global dan juga meningkatkan kadar CO2 di udara serta matinya berbagai spesies satwa dan juga rusaknya organisme tanah, sampai saat ini tidak ada dari institusi pemerintah yang menegur atau bahkan memberikan sanksi.
Begitupun sepertinya pemerintahan pusat yaitu dari Kementerian Perkebunan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai saat ini tidak terlihat upaya “pengawasan” dengan melakukan evaluasi terhadap perkebunan tebu ini karena kegiatan merusak lingkungan dengan membakar lahan ini tetap saja berlangsung.
Itu artinya kementerian Perkebunan dan Lingkungan Hidup sama sekali tidak ada kerja dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perkebunan SGC ini.
“Masyarakat Kabupaten Tulangbawang dan provinsi Lampung untuk kasus pembakaran lahan oleh SGC ini sepertinya tidak memiliki pemimpin untuk tempat mengadu ataupun berkeluh kesah terhadap masalah mereka sehingga sepertinya mereka sampai saat ini menerima kondisi ini dengan segala keterbatasan dan keterpaksaannya. Kapankah negara akan hadir dalam permasalahan lingkungan hidup di SGC ini,”tutupnya. (*)