“Mbah Hamid Kajoran”
Penulis : Dr. (Cand) KH. Masykur Alfaruq, MPd
Indonesia merupakan negara di asia yang kaya dengan hadirnya banyak Ulama’ kharismatik, diantaranya ialah Syekh Mahfudz Termas, Syekh Nawawi Banten ,Syekh Abdul Karim , Syekh Ihsan Jampes ,Syaikhona Kholil Bangkalan ,Hadrotussyekh Hasyim Asy’ari ,Mbah Hamid Kajoran dan masih banyak Ulama-Ulama Nusantara yang mendunia .
Saya, bersama rombongan Ziarah Wali Songo Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Tulang Bawang, Lampung, menyempatkan diri untuk berziarah ke Makam Wali Kutub Mbah Hamid Kajoran. Makam Mbah Hamid itu terletak di Tuguran, Banjaragung, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah .
Usai bertemu dengan Mbah Hamid Kajoran, kemudian saya menceritakan sekilas tentang Mbah Hamid Kajoran kepada jamaah dan rombongan ziarah Wali Songo yang saat pertemuan duduk bersila di ruang bagian luar.
Mbah Hamid, beliau merupakan murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Mbah Hamid adalah Ulama Kharismatik yang Pancasilais. Bahkan menurut keterangan beberapa kyai sepuh, Bung Karno sempat beberapa kali diskusi soal Pancasila dan Islam dengan Mbah Hamid dan mbah Wahab ( KH. Wahab Chasbullah salah satu Pendiri dan Penggerak NU ).
Sejarah menceritakan, saat itu ada proses dialog yang intens dikalangan ulama dan tokoh NU sebelum menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam berbangsa dan bernegara.
Dialog tidak hanya dilakukan di forum-forum formal ilmiah akademik yang mengeksplorasi argumen dan gagasan rasional, tetapi juga di forum non formal seperti silaturrahim dan anjangsana serta forum mujahadah dan riyadloh yang mengeksplorasi aspek batiniah spiritual.
Salah satu forum tabayyun dan dialog informal mengenai kajian terhadap azas tunggal Pancasila penulis peroleh dari Gus Amin Hamid Kajoran, Putra Mbah Hamid Kajoran (alm) yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa yang monumental ini.
Diceritakan oleh Gus Amin, pada suatu hari ada beberapa kyai yang sowan menghadap Kyai Hamid Kajoran diantaranya Kyai Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta; Kyai Mujib Ridwan, Surabaya dan Kyai Imron Hamzah, Surabaya. Ada juga waktu itu Kyai Fauzi Bandung yang disopiri oleh Kyai Saeful Mujab, Yogyakarta.
Kyai Ali Maksum adalah salah satu anggota tim bentukan PBNU yang ditugasi untuk melakukan kajian mengenai azas tunggal Pancasila. Tim ini diketuai KH. Ahmad Shiddiq dengan anggota Kyai Mahrus Aly Lirboyo, Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Kyai Masykur Malang dan Kyai Ali Maksum Krapyak.
Para kyai ini menyampaikan kepada Mbah Hamid Kajoran bahwa ada upaya pemaksaan dari pemerintahan Soeharto untuk menerapkan Pancasila sebagai azas tunggal.
Mendengar pernyataan ini Kyai Khamid langsung menjawab, “Lho, koq pemaksaan? Pancasila itu kan milik kita, hasil Ijtihad-nya para Ulama dan kyai kita, terutama Hadratusysyekh KH Hasyim Asy’ari. Lha, kalo sekarang mau dijadikan azas tunggal ya Alhamdulillah. Itu artinya dikembalikan ke kita, kok malah kita merasa dipaksa.”
Mendengar jawaban kyai Hamid ini semua tertegun. Kemudian Kyai Ali bertanya, “Ini tafsirnya bagaimana?”
Atas pertanyaan ini kemudian Kyai Hamid menjelaskan soal sejarah dan tafsir Pancasila menurut ulama NU. Dijelaskan bahwa Pancasila merupakan penjelmaan (sublimasi) ajaran Islam yang mentautkan syariah, aqidah dan tasawwuf.
“Oleh karenanya kita bisa menjalankan dua sila saja dari Pancasila secara konsisten dan benar Insya Allah kita bisa menjadi wali,” demikian Mbah Hamid menjelaskan Dua sila tersebut adalah Sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Mengamalkan sila Ketuhanan artinya kita memahami dan mengerti Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, perintah dan laranganNya. Sedangkan mengamalkan sila kemanusiaan artinya kita harus “mengerti manusia”, “memanusiakan manusia” dan “merasa sebagai manusia”.
Kemudian Mbah Hamid menjelaskan tafsirnya secara detail dengan perspektif syariah dan tasawwuf . Ketika penafsiran sampai pada pengertian “merasa manusia”, Kyai Ali Maksum menangis.
Dari penggalan kisah ini dapat terlihat bahwa, Pertama, Pancasila merupakan produk pemikiran (ijtihad) dari para ulama Nusantara sebagai menivestasi atas ajaran dan nilai-nilai Islam.
Kedua, sikap NU menerima Pancasila sebagai azas bukan merupakan sikap keterpaksaan karena adanya tekanan politik, atau sekedar langkah taktis politik menghadapi tekanan, tetapi merupakan langkah ideologis.
Dalam kesempatan Ziarah di Makam Mbah Hamid Kajoran para Jamaah di sambut langsung oleh Putra mbah Hamid kajoran yaitu Gus Gumilang dan Ibu Nyai yang dengan ramah dan penuh kekeluargaan bahkan semua para Jamaah di berikan suguhan makanan dan minuman .
Sungguh Akhlaq mulia yang di contohkan oleh Keluarga Mbah Hamid Kajoran ,semoga para Jama’ah ziarah dapat mengambil Hikmah tentang bagaimana menghormati tamu dan mendapatkan Barokah Wali wasilah Ziarah . (*)