TULANG BAWANG – Pembakaran tebu dan lahan tebu pada saat proses panen yang diduga dilakukan oleh PT Sugar Group Companies (SGC) di wilayah Kabupaten Tulangbawang mendapat sorotan serius dari Lembaga Konservasi LK21. Lembaga yang aktif di bidang lingkungan hidup ini menilai ijin PT SGC harus dicabut bila terbukti melakukan pelanggaran.
Direktur Lembaga Konservasi 21, Ir. Edy Karizal menerangkan, bahwa hampir setiap tahun pasti terjadi pembakaran lahan (dengan sengaja) di perkebunan tebu terbesar di Indonesia di bawah naungan PT SGC yang sampai saat ini tidak mengindahkan pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang ada.
Menurutnya, PT SGC diduga selalu dengan sengaja membakar lahannya untuk mempermudah proses panen dan juga mempermudah ketika melakukan penanaman tanaman tebu baru, yang telah dilakukan selama berpuluh – puluh tahun.
“Dampak-dampak terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sepertinya diabaikan. Dan Pemerintah Provinsi Lampung sampai saat ini takluk kepada perusahaan yang memiliki pengaruh terhadap proses politik di provinsi Lampung ini,”tulisnya dalam rilisnya yang diterima Hariantuba.com, Senin (8/11/2020) malam.
Sudah saatnya, kata Edy Karizal, Pemerintah Provinsi (gubernur dan DPRD) memiliki sikap yang berani dengan memberikan teguran dan sanksi terhadap perkebunan tebu atau bahkan dicabut ijinnya, jika masih terus melakukan pelanggaran UU dengan membakar lahannya.
“Pembakaran lahan dapat dipidana karena sudah melanggar UU LH No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang tentang Perkebunan No 18 Tahun 2004. Semestinya pihak investor atau perusahaan tidak boleh semata-mata hanya memikirkan investasi dan ekonomi semata dan mengesampingkan dampak buruk lingkungan dari adanya proses pembakaran tebu dan lahan tebu,”tulisnya panjang.
Edy Karizal menuturkan, sebenarnya proses panen dan persiapan lahan tanam baru melalui proses bakar lahan itu dapat dilakukan dengan teknik lain atau dengan cara lain, yakni melalui penggunaan peralatan perkebunan yang ada seperti eksavator dan peralatan berat lainnya sehingga tidak mengorbankan lingkungan dan kesehatan.
“Dalam UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 Pasal 69 disebutkan bahwa Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar dan pada pasal 108 disebutkan bahwa pembakaran lahan dengan sengaja atau tidak sengaja dapat dipidana,”tegasnya.
Dari sisi undang-undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 bahwa proses pembakaran lahan saat panen tebu bertentangan dengan asas penyelenggaraan perkebunan (pasal 2) yaitu tentang kelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan.
Dalam proses pengelolaan perkebunan tebu, sambungnya, PT SGC seharusnya mengindahkan tentang UU Perkebunan pasal 32 yang menyebutkan bahwa; (1) Setiap orang yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk keperluan budi daya Tanaman Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.
Selanjutnya (2) Setiap Orang yang menggunakan media tumbuh Tanaman Perkebunan untuk keperluan budi daya tanaman perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya pencemaran lingkungan hidup. Dalam Pasal 67 juga disebutkan bahwa (1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
“PT SGC telah benar-benar telah “mengangkangi” Undang-undang tanpa sedikitpun ada penegakan hukum oleh pemerintah provinsi Lampung (Gubernur dan DPRD) yang seharusnya benar-benar menjaga komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup di provinsi Lampung,”tandasnya.
Dampak yang timbul akibat pembakaran lahan, sebutnya, bukan sekedar adanya debu dan kotoran hasil pembakaran yang sampai ke rumah-rumah penduduk saja, akan tetapi lebih jauh adalah kerusakan lingkungan hidup yang lebih besar. Akibat pembakaran lahan ini setiap panen di PT SGC menyebabkan pemanasan global dan mendorong perubahan iklim yang lebih besar bukan hanya di provinsi Lampung akan tetapi telah mempengaruhi bumi yang menyebabkan suhu bumi semakin panas (global warming) dan menyebabkan dampak lingkungan lainnya.
“Artinya PT SGC telah menyumbang terhadap peningkatan pemanasan global setiap tahunnya, yang mempengaruhi perubahan iklim dunia saat ini tanpa sedikitpun tindakan dari pemerintah provinsi Lampung,”sergahnya.
Tindakan dugaan pembakaran lahan oleh PT SGC juga menyebabkan terbunuhnya beberapa satwa yang berada di lahan tebu tersebut karena terjebak dan tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa jenis satwa dilindungi seperti trenggiling, ular, menjangan, dan lain – lain yang dilindungi sering ikut mati terbakar.
“Jasad-jasad renik yang berada di dalam tanah akan mati terbakar, dan menyebabkan tanah akan miskin hara dan juga kurus sehingga perlu pemulihan dalam jangka panjang dan sudah pasti penggunaan pupuk kimia akan yang menyebabkan tanah rusak dan keras,”ulasnya.
Diuraikannya, pembakaran lahan juga akan mengakibatkan tanaman besar di sekitarnya akan terpengaruh proses tumbuhnya, dan juga ekosistem menjadi tidak seimbang dan akan menyebabkan kemampuan tanah dalam menampung air ketika hujan akan sangat sedikit, sehingga menyebabkan limpahan air hujan tidak tertampung dalam tanah dengan baik. Keadaan ini akan menyebabkan kekeringan ketika musim kemarau tiba dan sumur-sumur sekitar akan sulit memperoleh air bersih.
“Perilaku PT SGC ini harus ditentang dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apabila pemerintah provinsi tidak berani melakukan pencegahan terhadap kegiatan merusak lingkungan oleh PT SGC ini maka LK21 akan mendorong pemerintah pusat agar memperhatikan masalah di provinsi Lampung ini melalui surat dan juga video pembakaran lahan. Surat protes dan informasi ini akan disampaikan ke Presiden Republik Indonesia dan DPR serta kementerian terkait dan pihak-pihak lainnya,”tegasnya.
Kalimat terakhirnya adalah, semua pihak dapat melakukan langkah lainnya, yakni dilakukan seruan kampanye ke publik untuk tidak menggunakan produk hasil PT SGC yaitu Gulaku karena telah merusak lingkungan dan menyebabkan global warming. (rilis)